Thursday, June 5, 2008

Tentang Bani KUzari

Kuzari, (Drs. H.A. Kuzari Hayin), adalah kepala keluarga bani kuzari, lahir di Pekalongan, 8 Agustus 1938.
Istrinya bernama Hj. Siti Maziyah, yang lahir juga juga di Pekalongan, tgl 4 Agustus 1949.
dari pasutri ini, Allah SWT memberikan amanah yang menjadi Quratu a'yun bagi keduanya, sebanyak 10 orang, 5 putri, dan 5 putra.
1. Ninik Zamiluni
2. Achmad Zidni
3. Anna Zayyana
4. M. Zurittaqi
5. Esti Zaduqisti
6. M. ZimammulHaq
7. M. Zakhirurizqi
8. Zurbiz Ziro'ati
9. Zakiyatul Hadfah
10. Muhammad Zayyinil Akhos

CINTA, by eza

Cinta kami tidak bersisi dengan banyak sudut,
sebab di tiap sisi bersudut kan ada perhentian,
pada tiap perhentian kan ada rehat,
pada tiap rehat kan berbenturan banyak prasangka,

Cinta kami tidak berbentuk pejal,
karena pada setiap bentuk yang pejal tidak ada celah kosong,
bila tak ada celah kosong tak ada kesempatan tuk mengisi,
bila tak ada kesempatan tuk mengisi kan ada kejenuhan.

Cinta kami itu begitu sederhana dengan bundarnya,
tidak ada sisi berpisah dan sudut yang berseberangan,

Cinta kami adalah ruang-ruang kosong.,
dimana pada setiap perubahan masa dengan leluasa kami mengisinya,
dengan bibit-bibit bunga aneka warna,
dengan ratusan kumpulan awan berbagai bentuk,
dengan ribuan kupu-kupu bersayapkan lukisan,
dengan hujan,
dengan salju,
dengan terik ilalang terbakar,
dengan semilir segar rumput pagi,
dengan mistik harum cendana,
dengan pesona manja sedap malam,
dengan …. cinta kami yang tak pernah mati hanya untuk kami saja.


Cinta, …………
Kata yang singkat.
namun ketahuilah, bahwasanya tanpanya dunia akan sepi dan hampa.

Aku teringat akan Ibnu Qoyyim yang mengatakan:
“setiap perbuatan dan gerakan di alam semesta ini adalah berasal dari cinta dan keinginan.
Keduanya mengawali segala pekerjaan dan gerakan,
sebagaimana benci dan ketidaksukaan
mengawali untuk meninggalkan dan menahan diri dari sesuatu.”

Ketahuilah,
“Cinta menggerakkan seorang pecinta untuk mencari yang dicintainya,
dan kecintaannya akan sempurna manakala ia telah mendapatkannya .
Maka cinta itulah yang menggerakkan PECINTA ARRAHMAN,
pecinta Al-Quran,
pecinta ilmu dan iman,
pecinta materi dan uang,
pecinta berhala dan salib,
pecinta wanita dan anak-anak,
pecinta tanah dan air
dan pecinta-pecinta lain
yang akan bergetar hatinya saat yang dicintainya disebutkan namanya.

Benarkah ketika kita dengar Asma-Nya, hati kita tergetar karenanya?
Benarkah ketika dibacakan Al-Qur’an
serta-merta jiwa kita bangkit, kemudian tergeraklah batin kita,
karena rindu dan menikmati yang dicintainya?

Tahukah kita, pada cinta kita?
Pada cinta yang seharusnya dan semestinya?
Cinta yang utama, yang abadi.
Cinta yang agung dan tinggi
yang akan mengalahkan cinta-cinta lain di bawahnya.
Itulah cinta kita pada Ar-Rahman.

إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Dan bila benar cinta, ikutilah Jalan-Nya,
Niscaya cinta kita tak akan bertepuk sebelah tangan.
Kita mencintai-Nya.
Dia pun mencintai kita, betapa indah dunia dengan cinta.




*) Gubahan oleh Esti Zaduqisti dari puisi anonim

Wednesday, June 4, 2008

TIGA FASE ISLAMISASI PSIKOLOGI

Kini umat Islam mulai merasa bahwa apa yang menjadi miliknya di rebut oleh pihak lain, kebangkitan yang banyak diistilahkan sebagai gerakan modern Islam, pembaharuan, ataupun apa yang mengindikasikan umat Islam bangun dari keterpurukan, mengantarkan langkah untuk bertanggungjawab menjaga kelestarian peradaban Islam yang telah sarat dengan konsep-konsep universal dan kesempurnaan bagi kehidupan.

Salah satu bentuk tanggung jawab itu adalah apa yang telah digambarkan oleh Muhammmad Izuddin Taufiq. Dikatakan dalam bukunya "Psikologi Islam" bahwa topik pembahasan atau kajian psikologi melewati tiga fasenya sebelum akhirnya ia berkembang luas dilingkungan bangsa Arab dan Islam. Fase pertama adalah fase dimana masyarakat Arab bisa mempelajarinya dari buku-buku asing (buku-buku yang dibawa para penjajah) fase ini terjadi sebelum didirikanya Universitas Arab modern. Fase kedua adalah fase dimana masyarakat bisa mempelajari psikologi melalui kajian-kajian umum. Pada fase itu, bahasa Arab mulai dipergunakan dalam penerjemahan dan penulisan buku. Terlihat respon positif terhadap penggunaan bahasa Arab dalam kajian tersebut. Para peneliti pun mulai giat dalam menulis dan menerjemahkan berbagai kitab yang berhubungan dengan psikologi. Fase ketiga adalah fase di mana gagasan konsep murni psikologi mulai dimunculkan. Pada fase ini, para ilmuwan muslim mulai meneliti karakteristik masyarakat islami dan mulai membangun konsep baru psikologi yang sesuai denag karakteristik tersebut. (Taufiq, 2006: 16)

Ketiga fase tersebut menggambar periode adanya sebuah upaya yang digulirkan oleh para ilmuwan muslim dengan sebutan islamisasi pengetahuan (islamization of knowledge). Oleh tokoh-tokohnya seperti ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessiein Nasr, juga tokoh-tokoh lain seperti Kuntowijoyo, dan Armahedi Mahzar.

Islamisasi pengetahuan didefinisikan dengan bermacam-macam pengertian berdasarkan pemahaman mereka. Seperti yang didefinisikan oleh Imad al-Din Khalil, bahwa islamisasi pengetahuan adalah keterlibatan dalam pencarian intelektual yang berupa pengujian, penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup manusia dan alam semesta dari perspektif Islam. Sementara sardar menekankan epistemologi dalam membangun kerangka sains atau penegetahuan Islam. Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikontruksi setelah membongkar sains modern yang ada (www.geocities.com/jurnal-iiit Indonesia/Psikologi Islam.htm)

Mengkontruksi sains islami ataupun membangun konsep baru psikologi, dalam konteks yang lebih khusus, yang sesuai dengan karakteristik masyarakat islami, setidaknya kita juga mampu memahami konsep-konsep yang telah dikonsepkan oleh para ahli dari Barat, karena secara kebetulan istilah psikologi dan teori-teorinya muncul dari sana.
Hati-hati “Ber-Su’udhan”!

Kadang kita pernah diberi nasehat oleh orang tua jawa “Bocah iku ojo dicap elek!”. Sebuah filosofi yang bertujuan agar anak tersebut tidak menjadi seperti apa yang disangkakan kepadanya. Kita juga tahu hadits Qudsi yang difirmankan Allah SWT, “Ana inda dlanni abdi bii” yang mempunyai arti “Aku adalah seperti yang dipersangkakan oleh hamba-Ku terhadap-Ku”. Kedua hal (filosofi jawa dan hadits Qudsi) tersebut, apabila kita lihat dalam referensi psikologi, sama maksudnya ketika kita mengungkapakan istilah “Self Fulfilling Prophecies”.
Self Fulfilling Prophecies didefinisikan sebagai usaha tingkah laku seseorang terhadap stereotipe-stereotipe yang diberikan kepadanya. Constanzo (tt) dalam bukunya “Experience Social Psichologi” mejelaskan bahwa jika seeorang A mempunyai stereotip-stereotip tentang B, maka B akan berusaha bertingkah laku sesuai stereotip-stereotip tersebut.konsep pengasan tingkah laku seperti ini oleh Constanzo disebut sebagai Self Fulfilling Prophecies atau peramalan diri.
Stereotipe diartikan oleh Tajfel (dalam Haslam, et.all, 1994) sebagai proses ascribing terhadap individu atas dasar keanggotaan kelompok Stereotip muncul karena adanya prasangka, karena stereotip adalah sebuah hasil dari proses adanya prasangka. Ktaz & Barly, menyatakan bahwa prasangka (prejudice) dan pelabelan (stereotype) tidak dapat dipisahkan keterkaitannya. David, (1994) menyatakan bahwa prasangka merupakan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain.
Prasangka (prejudice) merupakan persepsi (dalam tataran kognitif), stereotip lebih kepada arti pelabelan kepada seseorang atau kelompok lain tersebut, termasuk sikap dan perilakunya terhadap mereka (sudah dalam tataran afektif, dan psikomotorik). Dari penjelasan tersebut maka benarlah jika ada pernyataan bahwa prasangka dalam kajian psikologi mengawali adanya stereotipe.
Prasangka, dalam bahasa arab diistilahkan sebagai dhan. Dhan ada dua yaitu dhan baik (khusnudhan) dan dhan buruk (Su’udhan). Implikasi dari adanya firman Allah tersebut, dalam hadits qudsi, adalah wajib bagi kita untuk ber-khusnudhan, kepada Allah dan apa yang sudah ditentukan oleh-Nya kepada hamba-Nya. Sikap ber-khusnudhan tersebut dapat tercermin dalam sikap dan perilaku kita, dalam do’a dan cara kita mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita.
Allah akan menyesuaikan terhadap apa yang disangkakan hamba-Nya. Jika hamba-Nya selalu ber-khusnudhan, maka Allah akan menyesuaikan sebagaimana baiknya persangkaan itu. Begitu sebaliknya, apabila hamba-Nya ber-su’udhan, maka tidak segan-segan Allah pun akan menjatuhkan hukum su’, sejelek persangkaanhamba tersebut. Misalkan saja, seorang hamba selalu negatif terhadap apa yang ditentukan oleh Allah terhadapnya, selalu menganggap bahwa Allah tidak sayang terhadapnya, selalu beranggapan bahwa takdir dirinya, dimana pun dan kapan pun selalu jelek, hanya penderitaan yang ada pada dirinya, selalu skeptis, tanpa ada optimis, tanpa ada raja’ (sikap penuh harap terhadap ketentuan baik dari-Nya), maka Allah pun akan menentukan hidup hamba tersebut selalu menderita. Lain halnya dengan seorang hamba yang selalu beranggapan bahwa semua yang terjadi, pasti terdapat hikmah di dalamnya, ia selalu berharap kebaikan kepada Tuhannya yang Maha Bijaksana dan Pemurah terhadap hamba-Nya, maka Allah menjadikan ia sebagai hamba yang pandai bersyukur, sehingga kedamaian dan ketenangan selalu ada dalam hatinya.
Nampaknya, hukum yang berlaku pada dzat Allah SWT, yaitu penyesuaian terhadap prasangka yang dijatuhkan kepada-Nya, juga berlaku pada jiwa (nafs) manusia, jika kita telaah lebih jauh. Self Fulfilling Prophecies, adalah sebuah istilah yang dapat dijadikan sebagai rujukan berlakunya hukum tersebut pada diri manusia.
Dalam konsep pendidikan, kita bisa memahami bahwa kita dilarang memberi label “anak nakal” kepada anak kecil. Secara tidak langsung, kognitif anak kecil akan menerima rangsang bahwa ia adalah nakal, sehingga ia akan mengimplementasikan hal itu dalam perilakunya, sehingga benar-benar label “anak nakal” itu melekat pada pribadinya. Secara psikologis, ia akan mencari pembenaran pada apa yang telah dilabelkan terhadap dirinya oleh orang lain atau orang tuanya.
Kita juga sering mempunyai stereotipe (pelabelan) atau memberikan anggapan kepada orang madura, makasar, dan sebagian suku bangsa sebagai orang yang keras dan kasar perilakunya; sedang orang jawa dan sebagian suku bangsa lain sebagai orang yang halus, lembut dan lain sebaginya. Barangkali saja perilaku yang sudah di-judment-kan kepada mereka tersebut merupakan hasil dari self fulfilling prophecies (peramalan diri) terhadap stereotipe yang sudah terbentuk sebelumnya. Stereotipe tersebut adalah hasil generalisasi dari person per person, bukan perilaku kumulatif yang ada pada sebuah komunitas tertentu, namun karena pelabelan tersebut akhirnya masing-masing individu akan melakukan self fulfilling prophecies, melakukan pembenaran apa yang telah di sangkakan terhadap mereka, sehingga terlihat jelas ciri khas perilaku kumulatif tersebut pada tahap selanjutnya.
Banyak efek yang diakibatkan oleh adanya stereotipe. Hasil studi yang dilakukan oleh beberapa psikolog barat, dapat disimpulkan bahwa efek dari stereotipe antara lain adalah diskriminasi kelompok minoritas dan lemah. Sebagai contoh adalah adanya diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok kulit putih yang mayoritas, terhadap kelompok kulit hitam yang minoritas di negara barat. Diawali dengan stereotipe (pelabelan) negatif dari kelompok yang mayoritas terhadap kelompok yang minoritas, selanjutnya berpengaruh pada sikap mereka, dan akhirnya diimplementasikan secara nyata dalam perilaku agresif, dan menyerang terhadap kelompok lawannya tersebut. Apa yang terjadi setelah itu? Jawabnya tidak lain adalah perlawanan terhadap kelompok tertindas terhadap yang menindas, maka tak terelakan pula terjadinya peperangan.
Itulah gambaran proses psikologis, yang berawal dari kognitif individu, yang melebar pada sebuah efek yang sangat besar efentnya, dan bahkan bisa menyebabkan hancurnya dunia yang fana ini, rusaknya alam yang indah ini, serta jauhnya kedamaian dunia yang didamba-dambakan oleh semua orang penghuni jagad raya ini. Kognitif individu yang dinamakan dengan su’udhan, prasangka negatif yang berimbas pada stereotip (pelabelan), kemuidan sikap dan perilaku yang negatif.
Benarlah Islam, yang dibawa oleh Rasul pilihan, sebagai rahmatan lil alamin, melarang umatnya ber-su’udhan. Konsep rahmatan lil alamin akan benar-benar nyata apabila semua umatnya mau menjalankan konsep taqwa (menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan) termasuk menjauhi ber-su’udhan.
Itulah dhan yang su’, tidak bisa terlihat langsung efeknya, namun dalam jangka waktu yang panjang, juga pengaruh faktor lain, serta dengan pengkajian yang lebih dalam dapat terbaca efek yang paling besar, peperangan yang bisa menyebabkan hancurnya sebuah bangsa. Naudzubillahi min dzalika tsumma Allahumma Jannibna min su’i dhanni. Semoga kita terhindar dari “ber-su’udhan” kepada orang lain, baik dalam konteks individu maupun sosial. Amin ya Rabbal Alamin.