Wednesday, June 4, 2008

Hati-hati “Ber-Su’udhan”!

Kadang kita pernah diberi nasehat oleh orang tua jawa “Bocah iku ojo dicap elek!”. Sebuah filosofi yang bertujuan agar anak tersebut tidak menjadi seperti apa yang disangkakan kepadanya. Kita juga tahu hadits Qudsi yang difirmankan Allah SWT, “Ana inda dlanni abdi bii” yang mempunyai arti “Aku adalah seperti yang dipersangkakan oleh hamba-Ku terhadap-Ku”. Kedua hal (filosofi jawa dan hadits Qudsi) tersebut, apabila kita lihat dalam referensi psikologi, sama maksudnya ketika kita mengungkapakan istilah “Self Fulfilling Prophecies”.
Self Fulfilling Prophecies didefinisikan sebagai usaha tingkah laku seseorang terhadap stereotipe-stereotipe yang diberikan kepadanya. Constanzo (tt) dalam bukunya “Experience Social Psichologi” mejelaskan bahwa jika seeorang A mempunyai stereotip-stereotip tentang B, maka B akan berusaha bertingkah laku sesuai stereotip-stereotip tersebut.konsep pengasan tingkah laku seperti ini oleh Constanzo disebut sebagai Self Fulfilling Prophecies atau peramalan diri.
Stereotipe diartikan oleh Tajfel (dalam Haslam, et.all, 1994) sebagai proses ascribing terhadap individu atas dasar keanggotaan kelompok Stereotip muncul karena adanya prasangka, karena stereotip adalah sebuah hasil dari proses adanya prasangka. Ktaz & Barly, menyatakan bahwa prasangka (prejudice) dan pelabelan (stereotype) tidak dapat dipisahkan keterkaitannya. David, (1994) menyatakan bahwa prasangka merupakan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain.
Prasangka (prejudice) merupakan persepsi (dalam tataran kognitif), stereotip lebih kepada arti pelabelan kepada seseorang atau kelompok lain tersebut, termasuk sikap dan perilakunya terhadap mereka (sudah dalam tataran afektif, dan psikomotorik). Dari penjelasan tersebut maka benarlah jika ada pernyataan bahwa prasangka dalam kajian psikologi mengawali adanya stereotipe.
Prasangka, dalam bahasa arab diistilahkan sebagai dhan. Dhan ada dua yaitu dhan baik (khusnudhan) dan dhan buruk (Su’udhan). Implikasi dari adanya firman Allah tersebut, dalam hadits qudsi, adalah wajib bagi kita untuk ber-khusnudhan, kepada Allah dan apa yang sudah ditentukan oleh-Nya kepada hamba-Nya. Sikap ber-khusnudhan tersebut dapat tercermin dalam sikap dan perilaku kita, dalam do’a dan cara kita mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita.
Allah akan menyesuaikan terhadap apa yang disangkakan hamba-Nya. Jika hamba-Nya selalu ber-khusnudhan, maka Allah akan menyesuaikan sebagaimana baiknya persangkaan itu. Begitu sebaliknya, apabila hamba-Nya ber-su’udhan, maka tidak segan-segan Allah pun akan menjatuhkan hukum su’, sejelek persangkaanhamba tersebut. Misalkan saja, seorang hamba selalu negatif terhadap apa yang ditentukan oleh Allah terhadapnya, selalu menganggap bahwa Allah tidak sayang terhadapnya, selalu beranggapan bahwa takdir dirinya, dimana pun dan kapan pun selalu jelek, hanya penderitaan yang ada pada dirinya, selalu skeptis, tanpa ada optimis, tanpa ada raja’ (sikap penuh harap terhadap ketentuan baik dari-Nya), maka Allah pun akan menentukan hidup hamba tersebut selalu menderita. Lain halnya dengan seorang hamba yang selalu beranggapan bahwa semua yang terjadi, pasti terdapat hikmah di dalamnya, ia selalu berharap kebaikan kepada Tuhannya yang Maha Bijaksana dan Pemurah terhadap hamba-Nya, maka Allah menjadikan ia sebagai hamba yang pandai bersyukur, sehingga kedamaian dan ketenangan selalu ada dalam hatinya.
Nampaknya, hukum yang berlaku pada dzat Allah SWT, yaitu penyesuaian terhadap prasangka yang dijatuhkan kepada-Nya, juga berlaku pada jiwa (nafs) manusia, jika kita telaah lebih jauh. Self Fulfilling Prophecies, adalah sebuah istilah yang dapat dijadikan sebagai rujukan berlakunya hukum tersebut pada diri manusia.
Dalam konsep pendidikan, kita bisa memahami bahwa kita dilarang memberi label “anak nakal” kepada anak kecil. Secara tidak langsung, kognitif anak kecil akan menerima rangsang bahwa ia adalah nakal, sehingga ia akan mengimplementasikan hal itu dalam perilakunya, sehingga benar-benar label “anak nakal” itu melekat pada pribadinya. Secara psikologis, ia akan mencari pembenaran pada apa yang telah dilabelkan terhadap dirinya oleh orang lain atau orang tuanya.
Kita juga sering mempunyai stereotipe (pelabelan) atau memberikan anggapan kepada orang madura, makasar, dan sebagian suku bangsa sebagai orang yang keras dan kasar perilakunya; sedang orang jawa dan sebagian suku bangsa lain sebagai orang yang halus, lembut dan lain sebaginya. Barangkali saja perilaku yang sudah di-judment-kan kepada mereka tersebut merupakan hasil dari self fulfilling prophecies (peramalan diri) terhadap stereotipe yang sudah terbentuk sebelumnya. Stereotipe tersebut adalah hasil generalisasi dari person per person, bukan perilaku kumulatif yang ada pada sebuah komunitas tertentu, namun karena pelabelan tersebut akhirnya masing-masing individu akan melakukan self fulfilling prophecies, melakukan pembenaran apa yang telah di sangkakan terhadap mereka, sehingga terlihat jelas ciri khas perilaku kumulatif tersebut pada tahap selanjutnya.
Banyak efek yang diakibatkan oleh adanya stereotipe. Hasil studi yang dilakukan oleh beberapa psikolog barat, dapat disimpulkan bahwa efek dari stereotipe antara lain adalah diskriminasi kelompok minoritas dan lemah. Sebagai contoh adalah adanya diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok kulit putih yang mayoritas, terhadap kelompok kulit hitam yang minoritas di negara barat. Diawali dengan stereotipe (pelabelan) negatif dari kelompok yang mayoritas terhadap kelompok yang minoritas, selanjutnya berpengaruh pada sikap mereka, dan akhirnya diimplementasikan secara nyata dalam perilaku agresif, dan menyerang terhadap kelompok lawannya tersebut. Apa yang terjadi setelah itu? Jawabnya tidak lain adalah perlawanan terhadap kelompok tertindas terhadap yang menindas, maka tak terelakan pula terjadinya peperangan.
Itulah gambaran proses psikologis, yang berawal dari kognitif individu, yang melebar pada sebuah efek yang sangat besar efentnya, dan bahkan bisa menyebabkan hancurnya dunia yang fana ini, rusaknya alam yang indah ini, serta jauhnya kedamaian dunia yang didamba-dambakan oleh semua orang penghuni jagad raya ini. Kognitif individu yang dinamakan dengan su’udhan, prasangka negatif yang berimbas pada stereotip (pelabelan), kemuidan sikap dan perilaku yang negatif.
Benarlah Islam, yang dibawa oleh Rasul pilihan, sebagai rahmatan lil alamin, melarang umatnya ber-su’udhan. Konsep rahmatan lil alamin akan benar-benar nyata apabila semua umatnya mau menjalankan konsep taqwa (menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan) termasuk menjauhi ber-su’udhan.
Itulah dhan yang su’, tidak bisa terlihat langsung efeknya, namun dalam jangka waktu yang panjang, juga pengaruh faktor lain, serta dengan pengkajian yang lebih dalam dapat terbaca efek yang paling besar, peperangan yang bisa menyebabkan hancurnya sebuah bangsa. Naudzubillahi min dzalika tsumma Allahumma Jannibna min su’i dhanni. Semoga kita terhindar dari “ber-su’udhan” kepada orang lain, baik dalam konteks individu maupun sosial. Amin ya Rabbal Alamin.