Wednesday, June 4, 2008

TIGA FASE ISLAMISASI PSIKOLOGI

Kini umat Islam mulai merasa bahwa apa yang menjadi miliknya di rebut oleh pihak lain, kebangkitan yang banyak diistilahkan sebagai gerakan modern Islam, pembaharuan, ataupun apa yang mengindikasikan umat Islam bangun dari keterpurukan, mengantarkan langkah untuk bertanggungjawab menjaga kelestarian peradaban Islam yang telah sarat dengan konsep-konsep universal dan kesempurnaan bagi kehidupan.

Salah satu bentuk tanggung jawab itu adalah apa yang telah digambarkan oleh Muhammmad Izuddin Taufiq. Dikatakan dalam bukunya "Psikologi Islam" bahwa topik pembahasan atau kajian psikologi melewati tiga fasenya sebelum akhirnya ia berkembang luas dilingkungan bangsa Arab dan Islam. Fase pertama adalah fase dimana masyarakat Arab bisa mempelajarinya dari buku-buku asing (buku-buku yang dibawa para penjajah) fase ini terjadi sebelum didirikanya Universitas Arab modern. Fase kedua adalah fase dimana masyarakat bisa mempelajari psikologi melalui kajian-kajian umum. Pada fase itu, bahasa Arab mulai dipergunakan dalam penerjemahan dan penulisan buku. Terlihat respon positif terhadap penggunaan bahasa Arab dalam kajian tersebut. Para peneliti pun mulai giat dalam menulis dan menerjemahkan berbagai kitab yang berhubungan dengan psikologi. Fase ketiga adalah fase di mana gagasan konsep murni psikologi mulai dimunculkan. Pada fase ini, para ilmuwan muslim mulai meneliti karakteristik masyarakat islami dan mulai membangun konsep baru psikologi yang sesuai denag karakteristik tersebut. (Taufiq, 2006: 16)

Ketiga fase tersebut menggambar periode adanya sebuah upaya yang digulirkan oleh para ilmuwan muslim dengan sebutan islamisasi pengetahuan (islamization of knowledge). Oleh tokoh-tokohnya seperti ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessiein Nasr, juga tokoh-tokoh lain seperti Kuntowijoyo, dan Armahedi Mahzar.

Islamisasi pengetahuan didefinisikan dengan bermacam-macam pengertian berdasarkan pemahaman mereka. Seperti yang didefinisikan oleh Imad al-Din Khalil, bahwa islamisasi pengetahuan adalah keterlibatan dalam pencarian intelektual yang berupa pengujian, penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup manusia dan alam semesta dari perspektif Islam. Sementara sardar menekankan epistemologi dalam membangun kerangka sains atau penegetahuan Islam. Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikontruksi setelah membongkar sains modern yang ada (www.geocities.com/jurnal-iiit Indonesia/Psikologi Islam.htm)

Mengkontruksi sains islami ataupun membangun konsep baru psikologi, dalam konteks yang lebih khusus, yang sesuai dengan karakteristik masyarakat islami, setidaknya kita juga mampu memahami konsep-konsep yang telah dikonsepkan oleh para ahli dari Barat, karena secara kebetulan istilah psikologi dan teori-teorinya muncul dari sana.